yang tak tersentuh
tal berkawan
yang kian memudar perlahan 'ada debur disini
menekuni alunan deru
menyibak kediaman relung
yang pernah terdalam mengoyak bersama hempaan karang
Senin, 26 Oktober 2015
Selasa, 20 Oktober 2015
Rabu, 14 Oktober 2015
Jumat, 07 Agustus 2015
Senja Sejingga Pantai Bengkung
Malang. Hai senja batu Lepek 21 Juli 2015 tepatmu pantai batu Bengkung. Senjamu sejingga temarammu hari itu, bukan lagi. Aku melihatmu dengan aksen penambah tepat dimataku, bukan lagi indah melainkan teramat indah. Gulungan dibawah langitmu seperti nyanyian merdu penghantar lelap, yang terpijak sebersih langitmu hari ini. Tapi tidak dengan pijakan menuju tempatmu yang siap mengucurkan segarnya didalam tubuhku. Hamparan hijau menambah warna pada lukisan mataku. Debur temanmu sungguh indah semakin kurasa, dengan nyanyian sepoi angin berhembus entah kemana arahnya. melayang segerombol tepat diatasku, mencari penghidupan di debur temanmu. Sungguh pemanjaan mataku hari ini, karunia Tuhan yang baru terasa kulihat. Hai lukisan dimataku ciptaanNya, terimakasih untuk pengobat indraku hari ini.
Kamis, 06 Agustus 2015
Senja dalam Temaram Jingga
Temaram parafrase enggan menepi, memudar enggan,
menghilang pun enggan. Entah bagaimana inginnya, seperti yang bukan tereka
lagi. Masih pada senja yang sama menepikan yang tersamar, menepikan yang
memudar perlahan, menepikan yang terlihat. Jingga elok Mudita senja dalam diam,
bukan lagi. Senja bergeliat pada Fakuaro yang kian menjelma bersama malam.
Kisah yang tereka
menepikan yang menerka, pada ia yang tak ingin lagi terlihat. Mati tak bernama,
bersama nada kisah bersama mimpi. Lakuna pun masih terasa membayangkan yang tak
bisa terbayang, entah bagaimana awalnya entah bagaimana akhirnya. Ia yang akan
dijuluki derai bahagia sontak berubah bukan lagi. Bukan, ia bukan derai bahagia
ia menghilang setelah pelangi datang kemarin sore. Saat menunggu senja yang tak
lagi datang dengan keterasingan, aku sendiri.
to be continue . . .
Senin, 11 Mei 2015
Jumat, 06 Maret 2015
Yang tak sejalan meniti sendiri, mematuhi kian berontak, menepis yang tersikap dibalik gulaman, mewangi tak lagi sumringah semerbaknya, menjelma pualam kata yang tercekat penuh di untaian barisannya. Yang terpuja mengalahkan yang kian pergi lalu datang tanpa hina. Yang terbuang mengalahkan yang tak terhiraukan. Dan yang terkasih terkalahkan dengan yang berjarak.
Minggu, 01 Maret 2015
Ketika mata tak lagi bersua, ketika suara tak lagi bertatap, ketika raga tak berjumpa. Masih ada cerita yang kian persulit. Memenjarakan rasa sendiri. Fakuaro masih bermain geliat, mengapa tak berhenti? Aku enggan menerka, ia masih berputar dengan alunan Fakuaro, menyisipkan kata yang tak perlu jawab. Disana kutunggu, menunggu yang tak kunjung berkunjung, tak menyelaraskan kata, mereka tiap titi rekanya. Dentingan tak lagi sama, alunan Fakuaro masih terngiang membuatku enggan lagi untuk meresapi alunannya, iya, hanya yang menunggu yang kutunggu. Kutunggu kau yang menunggu di altar penunggu.
Kamis, 05 Februari 2015
pikirku tak sampai pada titik yang jemu, monoton, kulakoni peranku. Merangkai yang harus terangkai, menyibak pada gugur senja malam. Melewati rekaan mereka, tak lagi peduli, semua terasa sendiri, bercecer rasa yang tak hirau, terasa biasa namun berbeda. Dengdam nyiur tak sampai pada indraku. Dan hari ini tak ada cerita, hambar.
Senin, 02 Februari 2015
perjalananku usai setapak ini, kujejaki dengan gegap dan syahdu, melewatkan yang enggan menerka lalu pergi. tak lagi peduli pada yang tak lagi menghiraukan, besemayam senja yang kian menghilang dalam peraduan, seperti senja yang akn selalu berpulang dan datang keesokannya. sama halnya dengan dia dan merek yang datang menyapa lalu membawa cerita dan pergi tak tahu alasannya. ini yang terjadi, tak lagi peduli, aku masih menapaki setapak yang tak lagi berjarak,aku menuju gerbang dihadapku, tak mengusik siapapun, bahkan ia yang ku tunggu setahun lagi, entah kan berpihak denganku atau lari dan tak peduli.
Minggu, 04 Januari 2015
meretas, bagai yang mengembang dengan sendirinya, melambaikan yang seharusnya tak pernah mengatakan dirinya pergi. semua berjalan dengan layakanya mereka yang berjalan semua begitu berjalan seperti tanpa skenario. aku menggpai langit yang tak pernah bisa kugapai, aku merajalela bersama malam yang kian lontarkan dingin senyap hingga belulang tak lagi kaku mungkin sudah mati.ini bagai parodi yang akan selesei pada waktu yang bersamaan semua akan berhenti pada titik dimana semua akan terasa jengah dan tak lagi bermain. semua berkakhir dengan sendirinya, mati!
hai ciamik
Tak selamanya senja kan kau rasakan
dengan orang yang sama, mengudaranya senja kian menipis, tak lagi jingga
mungkin abu-abu katanya, semua terasa biasa saja bagiku, tapi tidak dengannya
ia menganggap semua tak lagi indah terasa absurd, mungkin. Tulisanku tak juga
rampung, kutanggalkan tanpa akhir yang jelas, tercecer tak ada barisan lagi
yang terpampang mengudara yang ada hanya barisan sendu tanpa tertuang. Senja
perlahan kembali menawan dengan tariannya, kutulis lagi ceritaku dengan cara
yang sama menceritakan ia yang datang
dengan sejuta kejutan.
Ia datang membawa cerita baru,
mengajariku bagaimana yang tak kutahu, ia berbeda, berjumpa dan bertemu
dengannya serasa bercermin pada diri. Semua terjadi tanpa rekayasa dan tak
direkayasa, terjadi tanpa skenario mungkin skenario Tuhan, tapi tidak pada
waktu yang tepat sebab ia tlah mengikat yang tlah ia puja. Sontak saja buatku
memanas didada entah mengapa , kuabaikan perlahan seiring dengan jalan yang
terus kudaki. Ia menyapa dengan sejuta ceria yang ia bawa membawaku mengikuti
yang ia lakukan.
Tak ada alasan bagiku untuk tak
menolaknya, menolak segala ajakan pujian bahkan pemberian. Meski menahan rasa
untuknya menyimpanya setidaknya melihatnya bahagia bersama yang terpilih cukup
bagiku untuk membungkam mulutku untuk tak mengatakan “sebesar ini asal kau mengetahui
rasaku” tetapi meski aku menaruh hati padanya aku tidak merasa bahagia saat ia
berada dalam masalah dengan yang ia pilh, aku selalu bisa merasakan apa yang ia
rasakan rasa kecewa gulana, gundah dan semacamnya aku tak ingin melihatnya
seperti itu, aku lebih suka ia berbagi bahagia bersama yang ia pilih.
aku menyebutnya merahsalju bagian 2
Mencoba menerima apa yang terlontar darinya, dengan
cepat ku mencoba tegar seolah aku mampu menerimanya dibibirku tapi tidak dengan
hatiku terasa tersayat teramat disana. Tetesan jatuh tak hentinya, semua terasa
sia-sia kesabaranku dan rasaku. Tapi aku masih saja bertahan berharap tembok
besar itu akan runtuh suatu saat nanti tapi bertahanku tak semudah itu. Kututup
pintu hatiku untuk mereka yang mendekat sebab hatiku masih terpikat merahsalju,
Jangan
mendekat
Ak
masih terpikat
Tak
ingin sakiti kalian
Pergi
saja cari kebahagiaan kalian
Setahun berlalu aku bertahan hingga aku mengetahui
sebab dari yang ia lontarkan bukan karena tembok besar melainkan ia tlah
memilih ia tlah mengikat yang ia pilih. Kebenaran yang keluar dari bibirnya
untuk kedua kalinya membuat gemuruh dada kian membara, tak adil bagiku kurasa.
“mengapa ia bisa ia ikat?tapi mengapa tidak bisa denganku?”semua terasa sudah
terskenario olehnya. Mencoba ikhlas mencoba merelakan tapi tidak semudah itu
kurasa. Ia yang berucap bahwa aku memasuki kriteria calon masa depannya tapi
nyatanya, ia tak pernah bersua kembali ia bungkam tak sepatah katapun keluar.
darinya, lantas aku harus menerka sendiri?iya harus kureka sendiri.
Bukan hanya kemarin aku mengenalmu
Sejak
2 mei tahun lalu aku mengenalnya
Semua
berasa asing sekarang
Ak
terbuang dalam keadaan semu
Membaur
sendiri dengan malam
Ingin
ku katakan padanya
Aku
terluka
Aku
lelah
Tak
bisa kah kau mengambil keputusan?
21/08/2013 10:41 AM
Sudah memasuki 2014 aku masih menunggu berharap ia
akan kembali tapi tidak nyatanya, ia masih bungkam tak bersua, mumgkin ia sudah
bahagia bersama ia yang terpilih, maka kusudahi saja bertahanku, mengakhirinya,
dan cerita ini tak tahu bagaimana akhirnya. Meski masih kusimpan rasa untuknya
tanpa ia tahu.
Langganan:
Postingan (Atom)