Jumat, 21 November 2014
ini duniaku, dngan sejuta rasa yang tak pernah terucap lewat bibirku. ak memendamnya lewat udara, memliharanya dengan sejuta diamku, melawan getir pahitnya rasa sendiri. Nibiru tak pernah tertidur, mungkin penghuninya yang sedang terlelap hingga enggan bangun dari mati suri mereka. Aku Kikan yang masih bersama senja menanti yang telah kunanti, menyapaku bersama helaian nafas yang selalu kurindu, bagaimana ia yang menyanding kekasih di lengan kanannya, erat tak terlepas meski badai mencoba berada di antara mereka. Ketakutanku semakin membuta, dengan rasa yang masih sama, Senja yang masih setia bersamaku, menggendongku dalam pembaringan yang semakin menumpuk, hai Mimin apa kabar engkau?
Kamis, 06 November 2014
ini rasa yang tak lagi menghilangkan jejak bersemai rindu yang enggan
mengudara bersama memoar yang tak kunjung selesei diputar dalam
fatamorgana. Senja mengabu tersamar tak lagi jingga, aku ingin
menyeruai, berlari menggetarkan yang tak lagi bersua.Aku bukan lagi
prioritas, aku hanya yang sekilas mengudara bersama senja, menghilang
sudah, tersepoi senja nan gugu bersama mereakah mawar. Hai, Nibiru, lama
tak ku dengar kabarmu?aku rindu tentangmu, bahagaimana kabarnya?iya
kabar ia penghuni nibiru yang selalu menjaga Cafe tepat dipojok jalan,
yang selalu menungkan soda biru dihadapan para tamu. Apa ia masih
bersama yang ia ikat?aku tak peduli awalnya, tapi semua tegaku tak
kunjung hilang, entah ia akan berada pada masa sekarang, bersama cinta
dan senja Bumi.
aku enggan mengingat lagi
tak akan ada lagi gurat bahagia seperti dulu
ia yang sekarang, menyemai mawar indah
meninggalkanku yang tak kau lihat
aku tak ingin mengulangnya
torehan luka pada dahan bahagia kala itu
membuatku enggan beradu dengan hati kecilku
kau yang memilihnya, jangan datang lagi dalam hidupku
tak ingin mendengar bahagiamu atau terpuruk kalian
aku tak peduli
yang kutahu saat ini
luka itu kalian yang torehkan
kau yang memiliki singgasana dan bersama ratumu
tak akan ada lagi gurat bahagia seperti dulu
ia yang sekarang, menyemai mawar indah
meninggalkanku yang tak kau lihat
aku tak ingin mengulangnya
torehan luka pada dahan bahagia kala itu
membuatku enggan beradu dengan hati kecilku
kau yang memilihnya, jangan datang lagi dalam hidupku
tak ingin mendengar bahagiamu atau terpuruk kalian
aku tak peduli
yang kutahu saat ini
luka itu kalian yang torehkan
kau yang memiliki singgasana dan bersama ratumu
Kamis, 30 Oktober 2014
melupakan yang tak lagi peduli dengan yang tlah menghilangkan kesenyapan memoar
ia memilih yang memadu dengan nafsu dan keseluruhan birahi
aku mendengarnya lewat udara
menyibakkan rasa yang hilang datang lagi sesaat
menyerua itu dengan dendangan mata
tak peduli kurasa
mereka bahagia kurasa
aku temukan ia siang ini
diatas altar laraku yang kembali lagi datang
ia yang tak ingin lagi kulihat
kekasihnya yang tak ingin kulihat
bertemu dengan kekasih dan pengobral janji
menertawai diri
ingin ku pijakkan kakiku diatas bahagia mereka
inginku tancapkan luka pada dahan bahagia yang hilang
kusebut kalian pengangkat derajatku
ia memilih yang memadu dengan nafsu dan keseluruhan birahi
aku mendengarnya lewat udara
menyibakkan rasa yang hilang datang lagi sesaat
menyerua itu dengan dendangan mata
tak peduli kurasa
mereka bahagia kurasa
aku temukan ia siang ini
diatas altar laraku yang kembali lagi datang
ia yang tak ingin lagi kulihat
kekasihnya yang tak ingin kulihat
bertemu dengan kekasih dan pengobral janji
menertawai diri
ingin ku pijakkan kakiku diatas bahagia mereka
inginku tancapkan luka pada dahan bahagia yang hilang
kusebut kalian pengangkat derajatku
Senin, 27 Oktober 2014
senjaku tak lagi jingga
senjaku tak lagi mengabu, ia bersemayam tetap meski tak terhiraukan, meski matapurnama tak lagi mrngabikan senja Nibiru, wahai Senja engkaulah penegak rasaku, menggugurkan yang tak seharusnya memudar.Memiliki rasa yang berdiam disana, menyibukkan diri, mengingkari "cemburu" "iri".
mengapa kau masih bersama ia?masihkah kau ingin bersamanya?melukis kisah hingga ajal?menggetarkan dunia dengan kisahmu dan ia?aku masih seperti dulu, dengan rasaku yang masih tetap sama. Tak ingin melihatmu terkapar dalam pembaringan kisah yang tak tahu kemana kan membawamu, aku dengan sejuta diamku, dengan sejuta rasa kagumku, mengagumimu dalam temaram senja yang enggan hilang dan datang seakan maruta kehilangan induknya. Kau mencintainya?kurasa kau teramat mencintainya. kutinggalkan kau dengan rasa yang tak berubah, nikmati duniamu, dengan dia yang teramat kau damba.
mengapa kau masih bersama ia?masihkah kau ingin bersamanya?melukis kisah hingga ajal?menggetarkan dunia dengan kisahmu dan ia?aku masih seperti dulu, dengan rasaku yang masih tetap sama. Tak ingin melihatmu terkapar dalam pembaringan kisah yang tak tahu kemana kan membawamu, aku dengan sejuta diamku, dengan sejuta rasa kagumku, mengagumimu dalam temaram senja yang enggan hilang dan datang seakan maruta kehilangan induknya. Kau mencintainya?kurasa kau teramat mencintainya. kutinggalkan kau dengan rasa yang tak berubah, nikmati duniamu, dengan dia yang teramat kau damba.
Minggu, 26 Oktober 2014
mengabu
mematikan yang telah mati
bergelayut pada senja yang enggan mengadu
meneriaki bersama yang tak lagi bersua
ini yang tak lagi sama
menyibak mewangi rindu yang tak menentu
inikah kisah parodi yang tak terjamah
mendiami luka yang tak kunjung mengabu
bergelayut pada senja yang enggan mengadu
meneriaki bersama yang tak lagi bersua
ini yang tak lagi sama
menyibak mewangi rindu yang tak menentu
inikah kisah parodi yang tak terjamah
mendiami luka yang tak kunjung mengabu
Jumat, 03 Oktober 2014
merah salju
Dan mematikan yang tak
berarti, semua terasa sulit sebenarnya, menghilangkan yang terpatri semenjak
lama, Merah salju yang dulu berada ditepian rindu menyerua pergi bersama yang
setia. Pada dahan gugur aku titipkan sejuta rasaku yang takkan pernah ia tahu.
Merah Salju yang kan selalu bersemai dalam hati meski tak ada lagi ada pada
pandangan mataku, mata purnama yang takkan pernah kulihat lagi eloknya.
Seterusnya ila terbiasa tak terhiraukan. Disenja yang tak biasa sore itu,
terbesit merah salju sekelibat dalam angannya, membuka kembali semua memoar
yang lalu, terdengar tombol pada layar hitam putih usang,
Dari Mimin teruntuk Kikan
Aku
mendengarkan kata demi kata yang di bicarakannya.
Minggu september
2014,,malam itu pukul 20.30,
Dia bercerita tentang
temannya,yang mungkin teman hidupnya nanti.
Rasa itu
kembali,entah dari pintu depan atau samping rumahnya ia masuk.
Terasa sedikit ngilu
di sebelah kiri dada,memaksanya masuk sedikit demi sedikit.
Aku tersenyum
,mencoba tersenyum tepatnya,tapi rasa itu mengganjal separuh senyumku.
Entahlah,aku iri
padanya ,yang di bicarakannya.
Aku ingin seperti dia
yang kau puja , aku ingin seperti dia yang membuatmu terlena.
Mengapa?
Aku tak tau bila kau
bertanya seperti itu.
Memandangimu saja aku
sudah lupa cara kembali ke hidup yang nyata itu bagaimana.
Aku di bawah
kacamatamu hanya bisa tersenyum melihatmu dengannya.
Mendoakannya ,
mendoakanmu.
Ternyata rasa yang
kau rasakan sejak dulu seperti ini,aku hanya menduga.
Entah itu benar atau
salah.
Dada kiriku sekarang
saat bertemu denganmu terasa hidup kembali,abjad ku hidup dan huruf-hurufku
berlarian di atas kertas yang masih basah dengan tinta.
Sastra merapikannya ,
tapi aku dari dulu tak bisa membedakan sastra dengan puisi.entah,mungkin otak
ku yang kurang mampu atau aku tak mau mampu.
Terkadang saat ayahku
membebani otak ku dengan kata-katanya,lirik-liriknya ,aku ingat padamu.
Mungkin terdengar absurd
di telinga , tapi kenyataannya seperti itu.
Kacamatamu
membangunkan ku dari lamunanku.
Aku melamun karna
rindu.
Tapi kau bukan
milikku.
Dan mataku nyaris
ungu melihatmu.
Kenapa begitu?
Jawabnya aku tak tau.
Kenapa tak tau?
Jawabnya rindu tak
perlu alasan.
Jam di atas kepalamu
sudah menjerit menyuruhku pergi,lewat 20.40.
Aku melihatmu dengan
tersenyum,tapi ini senyum ku yang tak biasa.
Senyum yang
sepertinya ingin menyatakan sesuatu,mungkin rindu,mungkin ingin sekali lagi
bertemu,atau mungkin aku untukmu.
Aku ingat sesuatu di
massa lalu.
Setiap minggu
menunggu tengah malam untuk menelefon mu , sekedar berbincang soal ilmu , atau
tertawa basi soal gurauan-gurauan palsu.
Aku selalu suka
menanyakan kabar tentang orang yang kau puja,tapi yang menyakitimu juga.
Tapi mengapa kau
masih segan dengannya?
Tidakkah kau sakit
karnanya?
Aku tau semua
tentangmu?
Penyakitmu selalu
hidung,kau suka makanan siap saji,dan kau suka bila aku menyebutmu Ny.ciamik.
Aku dulu menamainya
kikan,lalu sekarang aku berubah pikiran.
Sekarang ku namai dia
dengan kikankablillah.
Dari mimin
rakhmannda.chau!
Sabtu, 27 September 2014
sedang aku
menelitik sebuah ikatan
menelusur janji yang ia bawa
semerbak wewangiannya menghilang perlahan
bagaimana ia melebur dengan memerah mawar merekah disana
sedang aku, tersusun rapi dalam barisan terdepan
aku tumbang
melihat merekah mawar tertawa menindasku
melihat kau mengenggam merekah mawar dengan berjuta bahagia
tak ada barisan kata terucap
pergi dengan menari diatas Fakuaromu
lebur semua
kau membangun kembali dengannya
sedang aku, masih tumbang disudut sana
kurasa, kau bahagia bersama memerah mawar ditanganmu
menelusur janji yang ia bawa
semerbak wewangiannya menghilang perlahan
bagaimana ia melebur dengan memerah mawar merekah disana
sedang aku, tersusun rapi dalam barisan terdepan
aku tumbang
melihat merekah mawar tertawa menindasku
melihat kau mengenggam merekah mawar dengan berjuta bahagia
tak ada barisan kata terucap
pergi dengan menari diatas Fakuaromu
lebur semua
kau membangun kembali dengannya
sedang aku, masih tumbang disudut sana
kurasa, kau bahagia bersama memerah mawar ditanganmu
Jumat, 29 Agustus 2014
rasa pada dahan gugur
dan mematikan yang tak berarti, semua terasa sulit sebenarnya, menghilangkan yang terpatri semenjak lama, Merah salju yang dulu berada ditepian rindu menyerua pergi bersama yang setia. Pada dahan gugur aku titipkan sejuta rasaku yang takkan pernah ia tahu. Merah Salju yang kan selalu bersemai dalam hati meski tak ada lagi ada pada pandangan mataku, mata purnama yang takkan pernah kulihat lagi eloknya.
Kamis, 05 Juni 2014
AKU MENYEBUTNYA MERAH SALJU
Mataku tertarik pada yang menarik disana, tepat
didepanku. Kutemukan mata purnama teguh tertunduk malu dihadapku kusebut ia
Merah salju dan aku Ila. Di warung kopi itu kelekatkan
pandanganku, mengharap ada yang berbeda disana, cepat kutemukan dengan sedetik
waktu, tak lama aku menyelaminya, masuk kedalam mata purnama, benar aku tlah
menemukannya pikirku pendek seraya membuyarkan anganku yang entah bercecer
kemana perginya. Kulontarkan sepatah kata padanya, ia membalas, dengan wajah
tertegun aku tetap terus menyelaminya. Tak lama, senja tlah berpulang, gelap
mulai menyeruai kejam, mengoyak tulang belulangku, dingin mulai mencuat,
sebanarnya, tetapi hangatnya masih kurasa meski ia tlah bersujud meninggalkanku
sesaat. Dentingan meliuk menari tak terasa, ku akhiri pertemuan mata purnama kali
ini diiringi hangat senyum Merah salju.
Kulanjutkan pertemuan selanjutnya, sekali, berkali-kali
bahkan tak dapat kuhitung berapa kalinya. Mata purnamanya masih hangat, senyum
sapanya masih sama. Dengan harapku kutiti jejaknya, kutilam perlahan ia di
lubukku, kupatri ia direlungku meski ku tak tahu bagaimana ia rasa padaku,
nyatanya aku tetap melakukannya, selalu dan terus. Dengan penuh harap, ia
perlahan membalas perlahan, entah siapa yang sebenarnya melakukannya terlebih
dahulu, aku tidak malu untuk mengakui bahwa aku lebih awal, atau mungkin
sebaliknya, yang jelas hariku serasa bernuansa saat ini.
Putaran
hari berlalu cepat tak terasa, hingga kudapati pesan yang membuatku terbelalak
sesaat
<Merah Salju
+628xxxxxxxxx>
Sejenakku
melupakan penatnya dunia pendidikan
Untuk mengaplikasikan apa yang
sudahku raih
Tapi sejenak ku tak bisa melupakan
dirinya yang kan menungguku kembali
Untuk meraih cita-cita dan harapan
bersama
Ku merindu dan berharap pertemuan
lagi
19/07/201x
18:54:04
Sejenakku
memahami, bulan suci akan segera berlalu, tentu saja ia akan berpulang pada
muara asalnya, ku iringi perginya dengan degup rasa tak menentu, entah mengapa akan ada yang lain ketika ia
kembali pada mataku nanti.
Ku
tunggu ia dipesisir senja, ia datang lagi tepat dengan mata purnama yang masih
saja sama hanya gundah itu tak bisa ia kelak, dengan mata purnama yang berbinar
dengan rasa yang aku tak tahu apa itu, ia lontarkan yang menurutku akan membuat
jantungkku berdecit untuk sekian detik, dan benar adanya, setelah ia berpulang
ia membawa cerita baru untukku dan dia, inilah awal dimana kisahku dengan merah salju dimulai. Tembok besar menghadang
tepat diantara aku dan merah salju.
Ku
lakoni sesuai dengan alur yang menurutku akan menjadi indah jika aku dapat
melalui dan bersabar, bulan pun cepat berganti. Bulan dingin dipenghujung tahun
seoalah menyatu denganku kala itu, angin busuk menguak di telingaku siang itu
di kedai bergaya bambu
to be continue .......
Senin, 12 Mei 2014
CERPEN "SENJA UNTUK NIBIRU"
SENJA UNTUK NIBIRU
Di
Nibiru tempat tinggalku, hujan setia hari rabu, dan reda pukul satu, di meja
kayu bangku berdecit, aku menunggu ditemani soda biru dan sebungkus rokok. Di
Nibiru aku mengadu temapt rintih laraku mengadu, kuhisap rokokku hingga tulang
kerangkaku mengilu dan seakan ingin kukatakan ini duniaku, aku bebas di Nibiru
tak terpenjara dari beban belenggu. Tak ada sebebas di Nibiru, semua kerja
hanya untuk makan dan sekedar membeli soda, tak membeli radio atau TV berwarna.
Perkenalkan aku Mimin dan Kikan temanku. Aku pria berambut acak dengan kaos
bertuliskan “FUCK TERRORIS” celana
pendek kusut dan memakai sandal jepit, sedang Kikan Wanita berkacamata yang
selalu menggunakan masker dan dilehernya bertuliskan haram memakai celana jeans
hitam. Kami berdua penduduk Nibiru, bekerja di salah satu cafe di ujung jalan
St.Morino.
Putaran
jam terasa cepat bagi mereka kali ini, tak terasa senja mengintip malu di
ufuknya, angin sepoi menelitik bulu penghuni Nibiru, seakan ingin menyematkan
pada sela jari-jari penghuni Nibiru. Jam kerjapun tlah usai, tapi Kikan enggan
cepat kembali pulang Cafe sudah tutup sejak 1jam yang lalu, Miminpun menghilang
2jam yang lalu lalu tapi disudut pelataran Cafe Kikan termenung dalam lamunan
senja itu, tertegun seorang diri, dihadapannya terdapat secangkir soda biru
pekat mengepul seraya ingin menari menyapa senja. Disampingnya terdapat
sejumput mawar hitam mengarah kearah Kikan.
Aku
datang dengan tergopoh-gopoh, dengan nafas terengah aku kembali ke Cafe, aku berhenti
sejenak, dari kejauhan kudapati Kikan
menatap senja Nibiru.
”apa
yang ia lakukan?”apa yang ia pikirkan?apa yang ia lamunkan?” benakku.
Dengan
nafas yang masih tergopoh aku mendekati Kikan yang termenung di pinggiran
pantai Nibiru.
“Takkah
kau lelah berdiri menatap lekat seperti itu padaku?cepat duduk dan jangan
memandangku seolah kau ingin memakanku seperti itu!” Ujar Kikan dengan cuek
padaku.
“Tak
perlu kau secuek itu padaku, apa yang kau lakukan disini?bukankah Cafe sudah
tutup sejam yang lalu.” Ujarku menimpali kata Kikan.
“Yah,
ak ingin membual dengan sejuta rasa penasaran tentang sore ini, takkah kau
rindu dengan Bumi?takkah kau rindu Neni?”. Lirih Kikan.
“Itukah
yang kau lamunkan sejak tadi?tentu, aku merindukan mereka yang berada di Bumi,
inginkah kau kembali?”
“Yah,
entah mengapa aku terasa bosan di Nibiru, aku merasa sepi disini tak seperti d
Bumi, kerja hanya untuk secangkir soda biru seperti katamu, aku merindukan
sahabatku Misa”.
“Kau
memilih berada di tempat ini, bagaimana bisa kembali kau ini sungguh lucu Ink.”
Ink
adalah panggilanku untuk Kikan dan dia memanggilku Am, terdengar aneh
sepertinya tapi kami sudah terbiasa dengan panggilan itu.
“Jangan
meledekku, kuwalat kau nanti Am”. Sambil berlalu meninggalkan Cafe.
“hey,
tunggu aku Ink”. Aku berlari mengejar Kikan meninggalkan Cafe senja terkalahkan
gelap, iya gelap mulai datang, malampun menggantikan senja indah kali ini.
Esoknya
Merah
jingga mulai menyatu dengan gelap malam, ada yang berbeda senja kali ini. Neni
duduk disebelahku menggambarkan sebuah isyarat, ada yang bergeming sepasang
mata itu, ada yang tersirat di wajah Mimin, Neni ingin mereka apa yang kupikirkan.
“Tentu
kau tau kedatanganku”
“Iya,
aku mengerti mengapa kau sekarang berada disisiku” Jawabku dengan sejumput
Senyuman.
“Lantas,
apa yang akan kau lakukan?”
“Akan
aku pikirkan, secepatnya akan kuputuskan”
“Sampai
kapan?” Dengan penuh harap.
“Tunggu
saja, dibenakku sudah ada yang kuputuskan tinggal aku memantapkannya”
“Baiklah,
kau akan meninggalkannya berapa lama?”
“Entah,
mungkin 1tahun, aku tak tahu” tak ada ekspresi di wajahku.
Tak
ada lagi perbincangan kembali, semua berasa senyap, sunyi, sepi, hanya udara
yang bersua lembut seakan ia ingin berbicara kepada mereka mengapa kalian
membisu, mengapa tak kalian ramaikan kembali Nibiru senja kala itu.
Kikan
sibuk dengan secangkir soda biru dan kedai yang perlahan meramaikan telinga
kika, tetap saja ia merasa sepi tak bersua dibenaknya, ia mulai bosan dengan
Nibiru terbesit dibenaknya ia merindukan Misa, teman berkeluh bosan di Bumi,
“apa kabarnya?bagaimana dia?aku merindukanmu Mis” bulir bening menetes pilu di
pipi merah senja itu. Tak ada lagi kejadian, semua membisu.
Saat semua terasa semu dan tak adil
bagi mereka
Aku mulai membisu dengan sebongkah
asa
Dengan berjuta tanya dalam benak
diri
Akankah semua terasa sama
Bagai temaram yang pudar sebelum
berlalu
Aku enggan mengadu dalam luluhnya
Bersama malam yang tak kunjung
pergi
Aku ditimang dalam sebuah keresahan
Ada yang bergeming kala malam tak
kunjung pulang dalam pagi
Ada harap yang tak kunjung datang
Udara menyibak semerbak malam
Aku terbuai Nibiru
Tersadar
lamunanku di buyarkan sosok yang tak asing bagi indraku, Mimin disana berjalan
dalam temaram lampu pinggiran kedai, ada yang berbeda, iya disebelahnya seorang
wanita berkacamata, anggun, lesung pipit tertekuk jelas di senyumnya. Dengan
mereka cukup lama tak disadari Mimin berada tepat disebelahnya bersama wanita lesung
pipit.
“Apa
yang kau lamunkan?mengapa seperti orang kesurupan saja.”
“Tidak
ada, hanya saja, aku ingin bertanya padamu, emmm, siapa...”
“Ini kekasihku Neni di Bumi, tentu itu kan yang akan kau tanyakan padaku?.” Dengan
wajah sinis dan sedikit senyuman kecut.
“ Mengapa kau tampak gusar?apa yang terjadi?”.
Tanya Kikan
“Aku
akan pulang ke Bumi, mungkin besok atau selambatnya lusa, kau bersedia ikut?”
Jawabku penuh hati-hati
“Kau
bilang kau takkan kembali, sekarang kau termakan oleh omonganmu sendiri Ding,
mengapa kau ke Bumi?karena Kekasihmu?” Jawaban Kikan dengan kesal selaras
dengan suara Cafe yang semakin gaduh.
“Mungkin,
yang jelas aku akanpulang ke Bumi, bukankah kau rindu dengan Bumi?kita pulang
bersama”
“Tidak,
kau pulanglah, aku tetap disini, aku tak kan kembali ke Bumi, Nibiru tempatku
saat ini, kau akan kembali?”
“Mungkin,
kau tunggu saja aku, aku takkan membiarkan sahabat sepertimu sendiri disini.”.
Setahun
berlalu, kuraskan senja-senja Kikan tak hangat dulu bersamaku, tentu ia
sendiri, aku ingin menemui di Nibiru, aku ingin kembali bersamamu kawan.
Lamunanku dibuyarkan oleh bunyi e-mail masuk di laptopku, kutemukan
disana berjejer tulisa, iya itu dari Kikan, secepatnya kubuka.
Senjaku tak lagi jingga, mawar
hitamku semakin layu di pot ini
Soda biru tak lagi mengepul panas, Bagaimna
engkau disana?
Aku merindukan senja bersamamu,
sahabat
Cepat kembali, Senja Nibiru tentu
kan menyambutmu kelak, kau kembali
Ku tunggu kedatanganmu
Tentuku
kan kembali, Sahabat, untuk senja di Nibiru.
Langganan:
Postingan (Atom)