Kamis, 30 Oktober 2014

melupakan yang tak lagi peduli dengan yang tlah menghilangkan kesenyapan memoar
ia memilih yang memadu dengan nafsu dan keseluruhan birahi
aku mendengarnya lewat udara
menyibakkan rasa yang hilang datang lagi sesaat
menyerua itu dengan dendangan mata
tak peduli kurasa
mereka bahagia kurasa
aku temukan ia siang ini
diatas altar laraku yang kembali lagi datang
ia yang tak ingin lagi kulihat
kekasihnya yang tak ingin kulihat
bertemu dengan kekasih dan pengobral janji
menertawai diri
ingin ku pijakkan kakiku diatas bahagia mereka
inginku tancapkan luka pada dahan bahagia yang hilang
kusebut kalian pengangkat derajatku

Senin, 27 Oktober 2014

senjaku tak lagi jingga

senjaku tak lagi mengabu, ia bersemayam tetap meski tak terhiraukan, meski matapurnama tak lagi mrngabikan senja Nibiru, wahai Senja engkaulah penegak rasaku, menggugurkan yang tak seharusnya memudar.Memiliki rasa yang berdiam disana, menyibukkan diri, mengingkari  "cemburu" "iri".
mengapa kau masih bersama ia?masihkah kau ingin bersamanya?melukis kisah hingga ajal?menggetarkan dunia dengan kisahmu dan ia?aku masih seperti dulu, dengan rasaku yang masih tetap sama. Tak ingin melihatmu terkapar dalam pembaringan kisah yang tak tahu kemana kan membawamu, aku dengan sejuta diamku, dengan sejuta rasa kagumku, mengagumimu dalam temaram senja yang enggan hilang dan datang seakan maruta kehilangan induknya. Kau mencintainya?kurasa kau teramat mencintainya. kutinggalkan kau dengan rasa yang tak berubah, nikmati duniamu, dengan dia yang teramat kau damba.

Minggu, 26 Oktober 2014

mengabu

mematikan yang telah mati
bergelayut pada senja yang enggan mengadu
meneriaki bersama yang tak lagi bersua
ini yang tak lagi sama
menyibak mewangi rindu yang tak menentu
inikah kisah parodi yang tak terjamah
mendiami luka yang tak kunjung mengabu

Jumat, 03 Oktober 2014

merah salju



Dan mematikan yang tak berarti, semua terasa sulit sebenarnya, menghilangkan yang terpatri semenjak lama, Merah salju yang dulu berada ditepian rindu menyerua pergi bersama yang setia. Pada dahan gugur aku titipkan sejuta rasaku yang takkan pernah ia tahu. Merah Salju yang kan selalu bersemai dalam hati meski tak ada lagi ada pada pandangan mataku, mata purnama yang takkan pernah kulihat lagi eloknya. Seterusnya ila terbiasa tak terhiraukan. Disenja yang tak biasa sore itu, terbesit merah salju sekelibat dalam angannya, membuka kembali semua memoar yang lalu, terdengar tombol pada layar hitam putih usang,

Dari Mimin teruntuk Kikan






Aku mendengarkan kata demi kata yang di bicarakannya.
Minggu september 2014,,malam itu pukul 20.30,
Dia bercerita tentang temannya,yang mungkin teman hidupnya nanti.
Rasa itu kembali,entah dari pintu depan atau samping rumahnya ia masuk.
Terasa sedikit ngilu di sebelah kiri dada,memaksanya masuk sedikit demi sedikit.
Aku tersenyum ,mencoba tersenyum tepatnya,tapi rasa itu mengganjal separuh senyumku.
Entahlah,aku iri padanya ,yang di bicarakannya.
Aku ingin seperti dia yang kau puja , aku ingin seperti dia yang membuatmu terlena.
Mengapa?
Aku tak tau bila kau bertanya seperti itu.
Memandangimu saja aku sudah lupa cara kembali ke hidup yang nyata itu bagaimana.
Aku di bawah kacamatamu hanya bisa tersenyum melihatmu dengannya.
Mendoakannya , mendoakanmu.
Ternyata rasa yang kau rasakan sejak dulu seperti ini,aku hanya menduga.
Entah itu benar atau salah.
Dada kiriku sekarang saat bertemu denganmu terasa hidup kembali,abjad ku hidup dan huruf-hurufku berlarian di atas kertas yang masih basah dengan tinta.
Sastra merapikannya , tapi aku dari dulu tak bisa membedakan sastra dengan puisi.entah,mungkin otak ku yang kurang mampu atau aku tak mau mampu.
Terkadang saat ayahku membebani otak ku dengan kata-katanya,lirik-liriknya ,aku ingat padamu.
Mungkin terdengar absurd di telinga , tapi kenyataannya seperti itu.
Kacamatamu membangunkan ku dari lamunanku.
Aku melamun karna rindu.
Tapi kau bukan milikku.
Dan mataku nyaris ungu melihatmu.
Kenapa begitu?
Jawabnya aku tak tau.
Kenapa tak tau?
Jawabnya rindu tak perlu alasan.
Jam di atas kepalamu sudah menjerit menyuruhku pergi,lewat 20.40.
Aku melihatmu dengan tersenyum,tapi ini senyum ku yang tak biasa.
Senyum yang sepertinya ingin menyatakan sesuatu,mungkin rindu,mungkin ingin sekali lagi bertemu,atau mungkin aku untukmu.
Aku ingat sesuatu di massa lalu.
Setiap minggu menunggu tengah malam untuk menelefon mu , sekedar berbincang soal ilmu , atau tertawa basi soal gurauan-gurauan palsu.
Aku selalu suka menanyakan kabar tentang orang yang kau puja,tapi yang menyakitimu juga.
Tapi mengapa kau masih segan dengannya?
Tidakkah kau sakit karnanya?
Aku tau semua tentangmu?
Penyakitmu selalu hidung,kau suka makanan siap saji,dan kau suka bila aku menyebutmu Ny.ciamik.
Aku dulu menamainya kikan,lalu sekarang aku berubah pikiran.
Sekarang ku namai dia dengan kikankablillah.
Dari mimin rakhmannda.chau!