Minggu, 04 Januari 2015
meretas, bagai yang mengembang dengan sendirinya, melambaikan yang seharusnya tak pernah mengatakan dirinya pergi. semua berjalan dengan layakanya mereka yang berjalan semua begitu berjalan seperti tanpa skenario. aku menggpai langit yang tak pernah bisa kugapai, aku merajalela bersama malam yang kian lontarkan dingin senyap hingga belulang tak lagi kaku mungkin sudah mati.ini bagai parodi yang akan selesei pada waktu yang bersamaan semua akan berhenti pada titik dimana semua akan terasa jengah dan tak lagi bermain. semua berkakhir dengan sendirinya, mati!
hai ciamik
Tak selamanya senja kan kau rasakan
dengan orang yang sama, mengudaranya senja kian menipis, tak lagi jingga
mungkin abu-abu katanya, semua terasa biasa saja bagiku, tapi tidak dengannya
ia menganggap semua tak lagi indah terasa absurd, mungkin. Tulisanku tak juga
rampung, kutanggalkan tanpa akhir yang jelas, tercecer tak ada barisan lagi
yang terpampang mengudara yang ada hanya barisan sendu tanpa tertuang. Senja
perlahan kembali menawan dengan tariannya, kutulis lagi ceritaku dengan cara
yang sama menceritakan ia yang datang
dengan sejuta kejutan.
Ia datang membawa cerita baru,
mengajariku bagaimana yang tak kutahu, ia berbeda, berjumpa dan bertemu
dengannya serasa bercermin pada diri. Semua terjadi tanpa rekayasa dan tak
direkayasa, terjadi tanpa skenario mungkin skenario Tuhan, tapi tidak pada
waktu yang tepat sebab ia tlah mengikat yang tlah ia puja. Sontak saja buatku
memanas didada entah mengapa , kuabaikan perlahan seiring dengan jalan yang
terus kudaki. Ia menyapa dengan sejuta ceria yang ia bawa membawaku mengikuti
yang ia lakukan.
Tak ada alasan bagiku untuk tak
menolaknya, menolak segala ajakan pujian bahkan pemberian. Meski menahan rasa
untuknya menyimpanya setidaknya melihatnya bahagia bersama yang terpilih cukup
bagiku untuk membungkam mulutku untuk tak mengatakan “sebesar ini asal kau mengetahui
rasaku” tetapi meski aku menaruh hati padanya aku tidak merasa bahagia saat ia
berada dalam masalah dengan yang ia pilh, aku selalu bisa merasakan apa yang ia
rasakan rasa kecewa gulana, gundah dan semacamnya aku tak ingin melihatnya
seperti itu, aku lebih suka ia berbagi bahagia bersama yang ia pilih.
aku menyebutnya merahsalju bagian 2
Mencoba menerima apa yang terlontar darinya, dengan
cepat ku mencoba tegar seolah aku mampu menerimanya dibibirku tapi tidak dengan
hatiku terasa tersayat teramat disana. Tetesan jatuh tak hentinya, semua terasa
sia-sia kesabaranku dan rasaku. Tapi aku masih saja bertahan berharap tembok
besar itu akan runtuh suatu saat nanti tapi bertahanku tak semudah itu. Kututup
pintu hatiku untuk mereka yang mendekat sebab hatiku masih terpikat merahsalju,
Jangan
mendekat
Ak
masih terpikat
Tak
ingin sakiti kalian
Pergi
saja cari kebahagiaan kalian
Setahun berlalu aku bertahan hingga aku mengetahui
sebab dari yang ia lontarkan bukan karena tembok besar melainkan ia tlah
memilih ia tlah mengikat yang ia pilih. Kebenaran yang keluar dari bibirnya
untuk kedua kalinya membuat gemuruh dada kian membara, tak adil bagiku kurasa.
“mengapa ia bisa ia ikat?tapi mengapa tidak bisa denganku?”semua terasa sudah
terskenario olehnya. Mencoba ikhlas mencoba merelakan tapi tidak semudah itu
kurasa. Ia yang berucap bahwa aku memasuki kriteria calon masa depannya tapi
nyatanya, ia tak pernah bersua kembali ia bungkam tak sepatah katapun keluar.
darinya, lantas aku harus menerka sendiri?iya harus kureka sendiri.
Bukan hanya kemarin aku mengenalmu
Sejak
2 mei tahun lalu aku mengenalnya
Semua
berasa asing sekarang
Ak
terbuang dalam keadaan semu
Membaur
sendiri dengan malam
Ingin
ku katakan padanya
Aku
terluka
Aku
lelah
Tak
bisa kah kau mengambil keputusan?
21/08/2013 10:41 AM
Sudah memasuki 2014 aku masih menunggu berharap ia
akan kembali tapi tidak nyatanya, ia masih bungkam tak bersua, mumgkin ia sudah
bahagia bersama ia yang terpilih, maka kusudahi saja bertahanku, mengakhirinya,
dan cerita ini tak tahu bagaimana akhirnya. Meski masih kusimpan rasa untuknya
tanpa ia tahu.
Langganan:
Postingan (Atom)